Pages

DUET of THE ZERO

Sabtu, 23 Januari 2016



Duet of The Zero


Cast: Park Chanyeol & Byun Baekhyun of EXO



Author: Wk Ash/ Cover: Tacho's Art/ Genre: Friendship/ Duration: Oneshoot/ Rating: G (General Audience)



Summary: “Baek, aku ingin kita menjadi kaya—








***


Kemilau binar rembulan terpantul damai pada permukaan Sungai Han. Sedang desau angin menggelitik pelan impresi dua insan bersurai putih yang duduk di bibir sungai itu. Impresi masa lalu di mana hitungan mencapai titik nol. 

30 menit beranjak berlalu, dua lelaki yang telah termakan usia itu tidak ada yang memulai pembicaraan. Atensi mereka jatuh pada kemilau Sungai Han yang memantulkan klise abstrak masa lalu mereka. Hingga salah satu dari mereka menyadari bahwa atmosfer di sana tidaklah mendukung untuk memulai suatu pembicaraan. 

“Chan,” panggil seorang lelaki tua pada seseorang di sampingnya lirih. 

“Ada apa, Baek?” sahut yang dijuluki Chan sembari menatap manik hazel pemilik suara barusan. 

“Bisakah kita bicara di tempat lain? Semisal restoran Cina? Kedai ramen atau soju?” protes Baek kemudian menangkap baik-baik keadaan di sekitar mereka. 

“Kenapa? Sungai Han mempunyai akses masuk yang baik tanpa harus mengeluarkan banyak uang. Bodoh!” sahut Chan jengkel. 

“Sungai Han di malam hari tidak sesuai dengan kakek-kakek seperti kita, Bodoh! Lihat para pasangan remaja di sekitarmu! Kau benar-benar bodoh, Chan!” teriak Baek tak mau kalah. 

“Kau meneriakiku ‘bodoh’?” 

“Kau yang meneriakiku dengan kata ‘bodoh’! Dasar pikun!” 

Barangkali atmosfer di sekitar mereka tidak memungkinkan untuk memulai suatu pembicaraan, namun perdebatan di antara mereka tidak akan mengenal waktu atau tempat. Mereka tidak benar-benar berdebat, terkadang mereka ingin memasuki titik nol sekali lagi kemudian berjuang bersama-sama lagi. 

*** 

Seoul, April, 30 tahun lalu 

Aroma musim semi menguar kental. Kelopak-kelopak Azalea terhantar dari Gunung Hwangmae, beratus kilometer dari Seoul, menggugur dan menjejak setiap undakan di Jongno-gu. 

Setiap pijakan pada undakan yang ia lewati, lelaki berwajah mungil itu selalu menyumpahi peruntungannya yang kelewat buruk, menurutnya. Disusul lelaki berkulit tan dengan tinggi kelewat di belakangnya, tak jauh-jauh dari peruntungan lelaki berwajah mungil di depannya, dia juga mempunyai peruntungan yang kelewat buruk. 

“Baek! Tunggu!” ucap si lelaki tan, cepat-cepat menuruni tiga undakan di depannya. 

“Kenapa, Chan?” sahut yang dijuluki Baek lirih tanpa mengalihkan pandangannya terhadap lelaki di sampingnya. 

“Aku tampan dan aku tinggi. Sayang, gadis-gadis tidak ada yang mau kuajak berkencan. Alasannya sederhana, karena aku miskin,” cerita Chan yang berhasil membuat Baek menatap Chan nanar. 

“Ayolah, mahasiswa miskin seperti kita tidak usah memikirkan bagaimana cara mengajak gadis berkencan. Mereka butuh banyak uang. Kita sudah cukup makan mie rebus setiap hari, dan jangan karena seorang gadis kita tidak bisa makan apapun,” sahut Baek panjang lebar menyahuti persoalan Chan yang melankolis. 

Sesampainya di halte bus, pikiran Baek berputar-putar pada kelinci kesayangannya yang ia tinggal pada kamar sewanya bersama Chan. Pikirannya tidak keruan, ikatan batinnya terlalu kuat pada seekor kelinci yang dinamai “Bunny”. 

“Chan, kenapa perasaanku tidak keruan begini? Apakah terjadi sesuatu pada Bunny?” tanya Baek sembari menatap manik Chan erat. 

“Hewan berbulu mengerikan itu? Oh, Baek. Itu hanya seekor kelinci,” sahut Chan bergidik ngeri. Kotak-kotak pada perutnya tidak membuktikan ia tidak takut pada apapun, hewan berbulu dan berwajah imut adalah titik lemahnya. 

Bertepatan dengan bus yang mereka tunggu datang, Baek membalikkan langkahnya menuju kamar sewanya bersama Chan. Baek teramat menyayangi Bunny. 

“Yak! Baek! Kau akan terlambat masuk kuliah jam pertama!” teriak Chan pada punggung Baek yang semakin menghilang di tikungan jalan. “Bocah sinting!” desis Chan kemudian segera menaiki bus tujuannya. 

*** 

Hatinya serasa hancur berkeping-keping mendapati kandang Bunny yang telah kosong tak berpenghuni. Hanya tertinggal satu buah wortel yang belum dimakan sepenuhnya. Kakinya melemas seketika, saraf-sarafnya tak mampu merespon apapun, ia tidak bisa merasakan apa-apa lagi, kecuali satu, sesak di dalam sana yang membuatnya merasa tak mampu berpijak lagi. 

“Bunny, kau di mana?” desis Baek sembari meratapi kandang Bunny yang kosong. Tetesan pada ujung manik hazelnya jatuh jua. Bibir plumnya bergetar jua. Ia teramat sedih. 

Dengan setengah kesadarannya Baek menyusuri setiap gang di Jongno-gu, menuruni atau menaiki setiap undakan dengan teliti. Berharap menemukan hewan kecil berbulu putih bertelinga panjang itu. 

Seperdetik kemudian setelah ia mencapai ujung tikungan jalan, manik hazelnya menatap nanar, mencerna apa yang sedang terjadi. Baek berlari secepat mungkin menghampiri Bunny yang terkapar lemas dengan luka membuka di bagian dadanya. 

“Bunny! Bunny! Apa kau baik-baik saja?” teriak Baek tidak keruan. Buru-buru Baek mengambil ponsel di sakunya dan menelpon Chan. “Oh, Chan! Cepat angkat!” 

“Baek apa kau—“ teriak Chan di sebrang ponsel. 

“Chan!” potong Baek cepat. “Bunny sekarat! Dia keluar dari kandang dan sekarang tubuhnya banyak darah, Chan! Aku harus bagaimana?” raung Baek di ponsel. 

“Baek. Tenanglah. Cukup beri Bunny plester luka, dan dia akan sembuh. Oke, aku tutup panggilanmu, dosenku sudah datang,” tut— 

Jemari Baek yang lebih lentik dari jemari perempuan itu buru-buru menggendong Bunny, menuruni salah satu undakan Jongno-gu kemudian terhenti pada satu apotek di kiri jalan. 

“Plester luka. Satu,” ucap Baek yang hanya dijawab dengan tatapan sinis oleh pegawai apotek. 

“Untuk apa, Tuan?” 

“Kenapa banyak bertanya? Cepatlah! Kau tidak lihat Bunny sekarat?!” teriak Baek tinggi yang mau tak mau membuat pegawai apotek itu menuruti perintah Baek. 

Mahasiswa miskin itu keluar dari apotek dengan buru-buru. Memasangkan plester luka pada luka Bunny. Sepersekian menit kemudian tidak ada reaksi apapun. Kaku dan dingin. Bunny tidak terselamatkan lagi…. 

Semuanya terlambat, gundukan tanah basah di depannya hanya akan menjadi sebuah impresi tak terlupakan. Seharusnya, Baek tak menuruti perintah Chan begitu saja, memberi plester luka pada Bunny bukan suatu penyelesaiannya, ia harus membawa Bunny ke dokter hewan dan mendapat perawatan. Namun ia melupakan satu hal, bahwa ia… hanya mahasiswa miskin yang tidak akan bisa membayar perawatan dari dokter hewan. 

***

Chan melemparkan tas selempangannya di atas tempat tidur. Kuliah seharian membuat otaknya mendidih dan saraf-sarafnya menegang. Baek hanya tidur tengkurap, menenggelamkan irasnya dalam-dalam ke dalam bantal. Chan hanya menggelengkan kepalanya meratapi keadaan sahabatnya barusan. 

“Sudahlah, Baek. Jangan dipikirkan lagi,” ucap Chan sembari melepas satu per satu kancing kemejanya. “Hari ini materi kuliah dari Dosen Kim sangat banyak, kau tidak menyesal meninggalkannya?” 

“Apa kau tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang? Diamlah, Chan! Aku sedang bersedih,” sahut Baek tanpa mengangkat irasnya dari bantal. 

“Oke, baiklah aku tidak akan mengganggumu,” ucap Chan sembari mengangkat kedua tangannya. “Ummm kita akan makan malam ini? Hanya ada dua onigiri, Baek. Ayo kita makan bersama!” 

“Makan saja semuanya! Aku sedang tidak ingin memakan sesuatu,” sahut Baek dengan nada serak. 

“Sebenarnya, hari ini bukan hanya hari tersialmu saja, Baek. Biar kuceritakan pengalamanku hari ini….” 


*** 


Flashback 

Chan’s POV 

Musim semi identik dengan kelopak bunga sakura dan kencan romantis di bawah guguran kelopak bunga sakura. Aku merapatkan mantel coklat kusamku dan segera berkeliling menikmati aura musim semi di Kyunghee University. Gadis-gadis sedang sumringah mengambil potret diri di bawah pohon sakura, namun manikku terkunci pada satu gadis dengan rambut bergelombang sebahu dengan poni yang menutupi dahinya. Dahee, itu namanya. 

Seluruh darahku berdesir hebat, perutku serasa terhuni beribu kupu-kupu yang berterbangan tak tentu arah. Ini bukan hanya tentang musim semi dan kelopak sakura, ini seperti… entahlah. Tidak cukup kata untuk mendeskripsikannya. 

“Dahee,” panggilku. 

“Oh, Chan. Kau sedang tidak ada jam?” tanya Dahee dengan suara selembut sutera. 

“Hmmm, sekitar satu jam lagi, dan kau sendiri?” 

“Aku sedang—“ 

Belum sempat Dahee menyelesaikan kalimatnya, datang seorang lelaki tidak lebih tampan dan tidak lebih tinggi dariku, dengan mantel berharga setinggi langit yang kuyakin keluaran terbaru untuk musim ini. Ah, hidup memang terlampau buruk untukku. 

“Dahee, kau ingin makan siang bersamaku?” tawar lelaki itu. 

“Ah, ya, boleh. Kebetulan aku sedang memiliki waktu luang cukup banyak. Oh, Chan, kau mau ikut kami?” tawar Dahee padaku yang disambut tatapan sinis dari lelaki itu. 

“Mahasiswa miskin seperti dia tidak akan mungkin mampu membayar makan siang seperti kita, Dahee.7 Oke, Chan, kita pergi dulu,” ucapnya apatis yang mampu menohok tenggorokkanku hingga tak mampu berkata-kata lagi. 

“Junmyeon…,” bisik Dahee sembari menyenggol Junmyeon karena merasa tak enak padaku. “Chan, kami pergi dulu ya,” 

Aku hanya mengangguk dan memaksakan seulas sunggingan pahit di ujung bibir. Ya, Junmyeon benar, ia tidak salah. Aku memang mahasiswa miskin, yang beruntung bisa masuk univerisitas besar di Seoul. Siapa tahu jika Seoul terlalu sadis, sadis yang terselip di antara gedung-gedung pencakar langitnya. 

*** 

Petrikor di pagi hari musim semi menghadirkan rasa euonia tersendiri bagi Baek dan Chan, yah, walaupun kamar sewa mereka harus terendam air semalaman karena atapnya bocor. Namun, mereka berdua sama-sama menyukai petrikor. 

Jemari Baek menelisik birai pada salah satu undakan di Jongno-gu sembari maniknya memerhatikan setiap lukisan mural yang terhampar di setiap dinding, jalan, atau benda lainnya. Sedangkan Chan merasa dirinya menjadi lebih baik setelah menghirup kuat-kuat petrikor pagi ini. 

“Baek, aku ingin kita menjadi kaya. Kita tidak bisa seperti ini terus menerus, bukan? Diinjak dan diasingkan karena kita miskin,” ucap Chan sungguh-sungguh. 

“Ya, aku sendiri juga sudah muak dicap sebagai mahasiswa miskin di kampus, Chan. Jadi, apa rencanamu?” 

“Membuka café dengan makanan khas Korea, dengan interior maupun eksterior yang memiliki jiwa untuk menarik peminat remaja. Kita buat senyaman mungkin suasana café untuk kerja kelompok, berkencan atau sekedar mengobrol. Bagaimana?” jelas Chan panjang lebar. 

“Kau bisa memasak? Untuk urusan interior maupun eksterior café aku yakin kita bisa mewujudkannya karena kita memang kuliah di bidang itu. Untuk memasak, aku benar-benar tidak yakin, Chan,” 

“Aku akan mendatangkan kakak perempuanku dari desa,” 

“Modal?” 

“Kau punya tabungan, bukan? Aku juga punya. Untuk kecukupan lainnya aku akan meminjam uang pada Junmyeon atau Dahee,” 

“Kau gila? Merendahkan kredibilitasmu di depan mereka? Kita bisa meminjam uang di bank, Chan,” 

“Baik, aku setuju.” 

“Kau serius?” 

“Baek, aku sungguh-sungguh kali ini. Nanti aku akan menghubungi kakak perempuanku, besok kita akan ambil cuti kuliah, mencari dana dan mencari sewa gedung,” 

Sepanjang perjalanan Baek memilih diam dan mencerna ocehan Chan yang menurutnya kelewat gila. Tadinya ia hanya menanggapinya dengan tidak sungguh-sungguh, namun Chan ada benarnya juga. Keluar dari zona kemiskinan adalah impian terbaik yang pernah ada. Dalam diam Baek tersenyum gembira. Ini kali pertamanya dalam hidupnya bahwa ia merasa semangat dan meraki. 

*** 

Hari kemudian hal itu benar-benar direalisasikan oleh Chan. Pagi buta tadi Chan sudah sibuk menyeret Baek ke kamar mandi. Setelah segalanya dirasa siap Chan buru-buru menggandeng Baek menuju halte bus, berlarian menuruni undakan di kaki Gunung Naksan di pagi hari bukan ide yang buruk, tapi ayolah, Chan seharusnya bisa berjalan santai sambil bersiul dan menghirup pelan-pelan oksigen di sekitarnya. 

“Chan, bisakah kita santai sedikit? Semisal minum susu pisang sembari berjalan? Bahkan pagi ini, kau belum memberiku kesempatan padaku untuk menghirup oksigen,8” protes Baek di halte bus. 

“Aku akan memberikan susu pisang kepadamu setelah kita sampai di stasiun bawah tanah. Mengerti?” 

Sesampainya di stasiun bawah tanah, Chan membeli dua botol susu pisang, baiklah sebenarnya tadi Baek tidak benar-benar meminta susu pisang. Ia hanya memisalkan agar Chan tidak terlalu terburu-buru dan melupakan sarapan atau menghirup oksigen. 

Kereta bawah tanah melaju pada lorong gelap, kemudian keluar dari ujung lorong itu menyambut binar baskara yang mulai menyembul di ujung dirgantara. Semua yang gelap pasti ada titik terangnya. 

“Chan, apa destinasi pertama kita?” tanya Baek sungguh-sungguh sembari menyedot tetesan terakhir susu pisangnya. 

“Kita akan ke bank, mengambil seluruh uang tabungan kita dan meyakinkan bank bahwa mereka tidak perlu ragu meminjami kita uang untuk modal usaha,” 

“Destinasi kedua kita?” 

“Aku sudah mendapatkan gedung sewa di dekat universitas kita, harga sewa perbulannya cukup murah, kita memiliki janji sebelum jam makan malam, jadi selesaikan pinjam meminjam hari ini dengan cepat,” 

Oh, great! Chan sudah memperhitungkan semuanya hari ini. Baiklah, Baek tidak menyangka bahwa Chan mampu bekerja secepat ini, biasanya Chan sangat pemalas dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencerna sesuatu. 

*** 


Dua minggu kemudian setelah mereka membolos kuliah dan bekerja dari pagi buta menuju pagi buta berikutnya, BaekChan’s Café telah di buka. Yah beruntung keluarga mereka yang di desa sepenuhnya mendukung usaha mereka. Kakak perempuan Chan dari desa pun bersedia datang ke Seoul untuk membantu usaha adiknya tersebut dengan senang hati dan mengurus segala keperluan mereka. 

Dengan bangga Baek dan Chan membuka café pertama mereka yang diharapkan membuka penutup lubang binar peruntungan mereka. 

“Pelanggan hari pertama kita bukankah cukup banyak, Baek?” ucap Chan bangga sembari melipat kedua lengannya di depan dada di meja kasir. 

“Ya. Aku tidak menyangka bahwa kita bisa menjadi senekat ini, Chan,” sahut Baek yang sedang berdiri di belakang pantry sembari mengelap gelas-gelas basah. 

“Mungkin suatu hari nanti kita harus menambah pekerja kemudian membangun café baru,” 

“Aku mendukungmu,” 

“Baiklah, aku percaya padamu,” 

Tawa keberhasilan itu terbetik di sudut-sudut café diiringi binar rembulan yang mengambang pada dirgantara malam. 

*** 

Menyusuri malam pada barisan Seoul Fortrees Wall pada pegunungan Naksan tak kalah menghadirkan impresi masa muda penuh perjuangan yang berhasil mereka lampaui. Dua lelaki tua itu melempar senyum terhadap barisan neon yang tersebar di bawah Gunung Naksan. 

Jemari keriput itu menysur birai pada Seoul Fortrees Wall, merindukan sebuah hitungan nol dalam klise singkat mereka, atas perjuangan dan semangat pantang menyerah. 

“Chan, apa yang kau rasakan saat ini?” tanya Baek sambil melempar pandang pada jajaran birai Seoul Fortrees Wall. 

“Aku bahagia,” 

“Aku juga,” 


-Duet of The Zero-
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS